Laman

Sabtu, 12 Februari 2011

Pendidikan Teoritis di Indonesia

Beberapa hari yang lalu saya meminjam sebuah buku yang berpenampilan sangat sederhana di Perpustakaan Pusat UI. Cover-nya berwarna biru polos dengan 2 baris font judul simpel, yang bertuliskan "Pembinaan Watak Tugas Utama Pendidikan", oleh Slamet Iman Santoso. Buku ini adalah kumpulan karya tulis Pak Slamet, seorang pendiri Fakultas Psikologi UI, di media cetak, yang dikumpulkan oleh murid-muridnya. 
 
Dibalik tampilan luarnya yang benar-benar amat sederhana, tak disangka buku ini begitu berisi. Topik pertama yang saya baca sudah terasa ditulis dengan begitu menggebu-gebu. Tulisannya berjudul "Sifat Sekolah Rakyat", dari bagian Pokok Pemikiran Pendidikan Sebelum 1970. Pada karyanya yang ini, Pak Slamet mengkritisi Sekolah Rakyat (SR) yang terlalu cenderung mengajarkan ilmu teori kepada siswa. Karena situasi SR sebelum tahun 1970-an ini masih tidak jauh berbeda dengan kondisi Sekolah Dasar (SD) sekarang, saya tertarik sekali untuk menceritakan ulang isi topik ini, tak lupa ditambahkan pula dengan hasil diskusi saya dengan seorang guru.

Pendidikan ilmu teori di negeri kita seperti memiliki kedudukan yang begitu mulia di kalangan masyarakat. SR, sebagai sekolah tingkat dasar bagi setiap anak Indonesia (kini SD) terkenal dengan pelajaran teoritisnya. Lulusannya bahkan sangat diharapkan dapat melanjutkan ke SMP (Sekolah menengah Pertama) yang juga berperan untuk mengarahkan siswanya ke jenjang universitas. Padahal, Indonesia juga memiliki sekolah tingkat lanjutan yang lebih mengajarkan siswa untuk menjadi juru ahli dalam mengelola sumber daya, yaitu SMK (Sekolah Menengah Kejuruan). Namun sebagian masyarakat berpendapat kalau bisa SMK menjadi pilihan terakhir putra-putrinya dalam melanjutkan pendidikan dasarnya.
 
Ternyata, pola pikir seperti ini telah dimiliki oleh bangsa kita sejakmasa kolonial. Wilayah Indonesia begitu dicemburui karena memiliki kekayaan sumber daya alam. Maka agar bangsa Indonesia tidak menjadi ahli dalam mengolah sumber daya alamnya sendiri, Belanda membentuk sistem pendidikan yang senantiasa menanamkan pemikiran bahwa mempelajari teori jauh lebih baik daripada mempelajari kejuruan. Di Belanda sendiri pada saat itu juga sekolah dasar yang mengutamakan teori sedang berkembang, namun bukan karena itulah satu-satunya dan yang terbaik. Ternyata, sebelumnya anak-anak Belanda telah terbiasa menjalankan pendidikan dasar dengan ilmu kejuruan. Di sana ilmu kejuruan dianggap sama derajatnya dengan ilmu teori. Sangat berbeda dengan pandangan yang berlaku di negara kita.
 
Berdasarkan teori perkembangan anak, anak-anak usia 6-12 tahun, yang merupakan usia efektif belajar di tingkat SR, baru bisa mengenali konsep-konsep yang konkrit. Mereka belum bisa menguasai hal-hal yang bersifat abstrak. Contohnya dalam dunia pertanian. Pelajaran mengenai bentuk-bentuk tulang daun, bagian-bagian dari kulit pohon, belum benar-benar diperlukan oleh anak. Lebih baik jika mereka diajak mengenal, dan lebih bagus lagi bila bisa mengalami secara langsung, cara bekerja petani sambil memikirkan dan menemukan apa kegunaan dari setiap aktivitas yang mereka lakukan. Dengan cara ini, anak dapat belajar dengan lebih baik karena ia mengenal bentuk konkrit dari kegiatan pertanian. Kemudian pada tingkat lanjutan, anak-anak bisa dipersilakan untuk memilih untuk mendalami keahlian bertani dengan memasuki SMK, atau mendalami teori pertanian dengan memasuki SMP dan SMA. Pada tingkat lanjutan ini anak telah mampu berpikir secara abstrak, sehingga ilmu-ilmu teori yang dipelajarinya kemudian akan lebih mudah dipahami. Pemisahan untuk penyaluran bakat anak ini juga penting untuk menghindari salah pilih karena sebagian siswa SR atau SD tidak akan melanjutkan pelajaran di sekolah, sedangkan sebagian lagi akan melanjutkan sekolahnya.
 
Kurang lebih demikianlah usulan Pak Slamet terhadap perkembangan sekolah tingkat dasar di Indonesia.

7 komentar:

  1. Topik yang sangat menarik, Puti. Para siswa di negara ini ternyata memang 'dikerdilkan' oleh Belanda dengan sistem pendidikan yang lebih mengandalkan hafalan, daripada praktek, dan itu masih berlanjut hingga sekarang.

    Jadi merasa malu sendiri karena sejak kecil, terkadang aku lebih suka menghafal beberapa pelajaran tapi tidak berusaha memahami apa makna darinya.

    Kalau kata salah satu sepupuku, dia merasa heran dengan pelajaran anak SD sekarang. Jaman dia TK-SD, sekitar awal 80-an, jam pelajaran mereka saat itu lebih banyak untuk menyanyi dan bermain. Belum ada tuntutan untuk membuat PR. Buat aku, terkadang PR bisa membuat anak-anak yang masih sangat kecil stress jika mereka belum siap secara mental.

    Jadi solusinya mungkin orang tua perlu meluangkan waktu untuk belajar sambil bermain dengan anak-anak mereka. Gimana menurut Puti?

    BalasHapus
  2. Kalau dulu memang prinsip "belajar harus menyenangkan" itu dijalankan di sekolah-sekolah mut. Karena dari pembelajaran yang menyenangkan, ilmu jadi bermakna, dan akhirnya memori siswa terhadap pelajaran itu jadi kuat.

    Coba Mutya ingat-ingat lagi topik pelajaran apa yang masih bisa diingat jelas sampai sekarang. Apa waktu itu proses belajarnya menyenangkan?

    Nah, kenapa sekarang prinsip itu ditinggalkan? Mungkin lebih tepatnya ngga terlalu digunakan lagi ya...karena masih ada guru-guru yang mengusahakan pelajarannya bermakna buat siswa. Salah satu alasannya, berdasarkan diskusi dengan salah satu dosen, karena Indonesia ingin lulusannya bisa berkompetisi dengan lulusan sekolah-sekolah di luar negeri. Supaya bisa bersaing, siswa akhirnya dijejali banyak pelajaran, yang terlihat sama aku, ini membuat para pelajar jadi berfokus pada prestasi/hasil akhir, bukan proses belajarnya.

    Dari situ bisa ditebak kelanjutannya kan, pelajar kita ngga benar-benar menguasai ilmunya....

    BalasHapus
  3. Aku masih ingat pelajaran waktu SD dimana gurunya nyuruh aku mencoba membalikkan gelas tanpa airnya tumpah :))

    Pelajaran lain ketika SD cuma agak samar.

    He? Supaya lulusan kita berkompeten dibandingkan lulusan luar negeri? Tapi dengan cara menjejali pelajaran? Kok berasa agak aneh ya...

    Karena dari tulisan yang aku baca sama pengalaman orang yang sekolah di luar negeri dikatakan bahwa sewaktu mereka mengeyam pendidikan dasar di sana, diajarkan pendidikan yang menyenangkan. Taraf pendidikan matematika ketika SMP disini bisa setara dengan taraf SMU disana. Jadi mereka baru nge-genjot ketinggalan pelajaran dari kita setelah mendekati kelulusan SMU dan di college.

    Mungkin kadang-kadang kita harus bertanya kepada adik, keponakan, atau anak kita kelak apakah mereka mengerti konsep dari pelajaran yang mereka terima di sekolah. Dapat tips kalau mau melakukan itu, beraktinglah seperti kita tidak mengerti pelajaran mereka dan meminta bantuan mereka untuk mengajar kita :D

    BalasHapus
  4. lebih parah lagi biasanya ganti menteri (pendidikan) ganti kurikulum... dan tidak jarang kurikulum itu tidak berpijak pada teori-teori perkembangan siswa dan potensi yang ada di lapangan. Tragisnya itu diaplikasikan di level paling bawah yaitu guru. Guru pun motivasinya lebih pada mengejar tuntutan "beresnya" kurikulum... ho ho ho...

    Mari kita cerahkan pendidikan, minimal (ini yang baru bisa kulakukan) dengan cerewet soal program-program di sekolah pada pihak sekolah, dan membuat suasana belajar lebih menyenangkan dirumah...serta menanamkan value yang benar pada anak.

    Contoh nih tentang belajar membaca, Dipta mengeluh,"Aku capek belajar membaca...!" aku bilang,"Belajar itu memang capek, tapi jika sudah bisa sangat menyenangkan, kamu bisa baca buku cerita tanpa bantuan mama, bahkan kamu bisa yang nyeritain ke mamah apa isi buku itu". Awalnya dia cuma mau satu halaman, gak apa-apa, tiap dia baca kita respons apa isinya.. lama-lama dia tahan baca satu buku..
    oh ya ada trik untuk merangsang minat belajar membaca. Kita buat anak itu penasaran. Waktu itu aku baca cerita dengan kulafalkan "hehem hehem hehem hehem..." gitu terus...dipta sampai nangis dan teriak-teriak..."aku pengen tau ceritanya!" lalu aku bilang,"makanya belajar membaca dong". Jangan sampai kita bilang bahwa membaca itu tuntutan, kalau mau masuk SD harus bisa, bukan itu... tapi membaca itu adalah gantinya mata dia untuk melihat dunia(tapi sampaikan sesuai dengan perkembangan kognitif anak). Ok...

    BalasHapus
  5. Ehehe... Kalo bicara soal sekolah-kurikulum-kinerja guru-sampe kebijakan menteri pendidikan bingung aku mba mau gimana.... Namanya sistem ya, satu berubah, sebaiknya yang lain juga ikut berubah untuk saling menguatkan. Sekarang ini kan ada satu yang berubah yang 'diharapkan' bisa memperbaiki kualitas pendidikan sekolah (misalnya kurikulum), eh.. malah ngga diikuti dengan perbaikan di sisi lainnya (misalnya guru). Ya udah deh.. akhirnya mengajar bagi sebagian guru hanya jadi tuntutan. Materi dikejar sampai habis, tanpa memperhatikan pemahaman murid. Habis kalo ngga selesai dengan baik dan cepat, kredibilitas sang guru jadi dipertanyakan....

    Mungkin solusinya ada di gimana orang tua di rumah mendidik anak ya... Dengan mengajarkan anak-anak apa yang kurang bahkan ngga dipelajari di sekolah. Misalnya ilmu-ilmu akhlak, agama, moral, tata krama, toleransi, norma, etika, sampai ngajarin rasa malu.... Malu kalau cuek padahal ada orang di depan mata yang butuh bantuan, malu karena dia dengan seenaknya buang sampah sembarangan, malu mengambil hak orang lain, malu menyontek, lama-lama dia juga jadi malu buat plagiat sampai malu buat korupsi. Rasa malu ini bahasan favorit bu Prapti sih ya, tapi menurut aku memang benar itu saling berhubungan.

    Btw, ide mba retno ngakalin Dipta supaya dia mau belajar mbaca bagus loh. Hehehe,,, aku juga kalau digituin pasti penasaran mau baca sendiri bukunya. Hahaha...

    BalasHapus
  6. manteeepppp kakakkuuu,
    bisa juga dimasukkin tentang kinerja pengajar di zaman sekarang. Banyak penyuluhan lagi yang bagusnya di beri ke calon guru baru tentang sistem pengajaran dan kompetensi yang lebih bermanfaat.
    Tika liat makin membludak lulusan kejuruan yg ngejar PNS, padahal lowongan ke SLB lebih banyak terbuka dan mereka pastinya jadi memiliki 'nilai lebih'.

    BalasHapus
  7. Setujuu, perlu banyak penyuluhan buat calon guru, maupun buat guru-guru yang ada sekarang. Penyuluhan sama training kali ya. Tapi say, prakteknya selama ini tetep hanya berpengaruh sama beberapa orang guru aja, yg semangat buat perubahan yg lebih baik. Hmm...

    Kalau mau jadi guru, umumnya sekolah cuma nerima lulusan IKIP tik. Itu maksud Tika 'lulusan keguruan' kali ya? Iya, kalau ke SLB bisa punya nilai lebih :) Tapi tetep sesuaikan sama 'panggilan jiwa'-nya.

    BalasHapus